Orang bilang hidup di Jakarta itu keras. Ada juga yang bilang hidup di Jakarta mesti tahan banting. Dan memang seperti itulah kenyataannya. Setidaknya seperti yang bisa kami simpulkan dari hasil perjalanan kami ke Kota Tua Jakarta.
Jadi, pada hari Kamis, 30 Juli 2009, saya dan teman-teman yang tergabung dalam divisi keilmuan HMIKS mengadakan acara jalan-jalan ke Kota Tua, Jakarta Utara. Tujuan kami mengadakan perjalanan ini tidak hanya untuk bermain-main saja, namun juga untuk melihat realita sosial yang dapat kami temui sepanjang perjalanan.
Perjalanan kami awali di stasiun UI, Depok. Dari situ kami langsung menuju ke Kota Tua menggunakan kereta api kelas ekonomi. Kami sengaja memilih kereta ekonomi karena selain murah kesempatan untuk menemukan realita sosial juga lebih besar.
Sebenanrnya, jika semua orang berusaha untuk lebih peka maka akan mudah sekali mereka temukan realita-realita sosial dalam setiap kesempatan. Di sepanjang gerbong kereta mudah sekali kami temui orang-orang berjualan. Ada yang mengamen dan ada juga yang mengemis.
Para pedagang, pengemis, dan pengamen itu berjalan hilir mudik dari satu gerbong ke gerbong lainnya. Mereka berusaha menarik perhatian para penumpang yang pada hari itu terlihat sangat apatis.
Tiba-tiba kami melihat seorang laki-laki tua yang kakinya pincang. Ia merayap di lantai gerbong membawa sapu kecil dan menyapu kotoran di lantai. Dengkulnya hitam karena terlalu lama berada di lantai gerbong yang kotor. Ia menengadahkan tangan kepada penumpang-penumpang meminta sedikit receh. Sangat sulit untuk tidak bisa merasa iba.
Dari sini saya menangkap pelajaran bahwa banyak orang yang rela melakukan apa saja hanya untuk bertahan hidup di Jakarta.
Akhirnya kereta kami tiba di stasiun Kota dengan selamat. Stasiun Kota memiliki bangunan yang unik dengan langit-langit melengkung yang tinggi. Persis bangunan Eropa.
Dari stasiun kami berjalan kaki menuju museum Fatahillah. Jalanan yang kami lalui sangat padat kendaraan. Angkot dan bus seakan-akan tidak mau mengalah dalam jalanan yang padat merayap seperti itu. Kesan kami terhadap Kota Tua langsung menurun melihat jalanan yang semrawut tersebut.
Jarum jam menunjukkan pukul dua siang lewat beberapa menit. Kami telah sampai di museum Fatahillah. Banyak sekali pengunjung di museum ini. Turis asing juga lumayan banyak.
Pemandangan di museum Fatahillah memang indah. Keunikan bangunan-bangunan khas Belanda mungkin telah menarik perhatian para turis. Jumlah pengunjung pada hari itu lumayan banyak walau menurut pengakuan salah seorang penyewa sepeda pengunjung pada hari libur bisa lebih banyak daripada hari-hari biasanya.
Salah satu ciri khas museum Fatahillah adalah adanya sepeda-sepeda onthel yang disewakan untuk berkeliling Kota Tua. Kami pun ikut mencoba mengelilingi kota dengan sepeda itu. Harga sewa per jam nya Rp. 20.000,-.
Tiba-tiba muncul inisiatif dari ka Anis, salah satu anggota kami, untuk mewawancarai salah seorang penyewa sepeda itu. Kami pun akhirnya bertemu seorang pemuda, yang kemudian kami ketahui berasal dari Kebumen, Jawa Tengah.
Pemuda itu, sebut saja Mas Irwan, ternyata bukan pemilik sepeda-sepeda itu. Ia cuma bertugas menjaga sepeda-sepeda itu oleh pemiliknya. Menurut penuturannya, dengan bertugas menjaga sepeda ia mendapat penghasilan yang cukup untuk makan sehari-hari. Kalau hari libur ia bisa mendapat penghasilan tiga kali lipat lebih banyak. Pendapatannya itu juga ia gunakan untuk membayar uang kontrakan.
Kendati demikian, Mas Irwan menjawab pertanyaan kami dengan mimik muka yang tak pasti. Ia tampak pasrah ketika mengatakan bahwa penghasilannya bisa dibilang cukup. Mungkin arti sebenarnya ia berusaha men’cukup-cukup’kan kebutuhannya dengan penghasilannya.
Menurut Mas Irwan lagi, hadirnya turis asing ternyata tidak menambah pendapatan para penyewa sepeda itu. Menurutnya, turis asing justru lebih perhitungan dibanding turis lokal. Kendala bahasa juga menjadi alasan miskomunikasi. Pernah suatu kali ada turis asing yang menawar harga sewa, ia berkata “five..five”. Mas Irwan mengira “five” berarti lima puluh ribu. Ternyata turis itu hanya membayar lima ribu saja.
Hari sudah Sore. Kami pun berpisah untuk pulang. Saya kemudian naik busway untuk bisa sampai rumah dengan aman dan cepat. Di halte busway yang moderen tersebut ternyata masih saja ada peminta-minta.
Dalam perjalanan pulang yang nyaman di dalam busway saya masih menyimpan satu pertanyaan. Mengapa bisa kota yang dipenuhi dengan gedung-gedung yang megah dipenuhi orang-orang yang kesejahteraannya ternyata masih memprihatinkan?.
Akhirnya, saya hanya bisa menyimpulkan bahwa masyarakat Jakarta berada dalam realita hidup yang kontras, sangat senjang, dan tidak seimbang. Di kota ini terdapat orang-orang yang hidup mewah dalam bangunan yang megah, namun ada juga orang-orang yang tidak bertempat tinggal dan rela melakukan apa saja hanya demi sesuap nasi.
Dipostkan oleh: Mariam Aviatina Ulfah
Komentar Terbaru